Restructuring BUMN menjadi BUMR

Minggu, 09 Agustus 2009


Restructuring BUMN menjadi BUMR
Oleh : H. Asrul Hoesein

Dalam lingkaran ekonomi “economy circle” di era pasar bebas dimana kekuatan capital sangat dominan, maka peran pemerintah adalah penyeimbang lingkaran ekonomi tersebut kalau diterjemahkan secara kongkret, maka tugas besar pemerintah adalah sebagai pelindung lapisan masyarakat yang paling bawah melalui berbagai bentuk insentif kesejahteraan social ekonomi, tidak hanya melalui sumbangan pajak dari mereka yang kuat namun lebih dari itu melalui corporasi kerakyatan yang terorganisir.
Proses globalisasi berjalan terus tanpa menunggu bangsa kita siap atau tidak siap. Dalam era globalisasi, dimana pergeseran paradigma pembangunan tidak dapat dielakka, bahkan menjadi sebuah keharusan bila bangsa ini ingin terus menjadi bagian dari percaturan internasional.
Untuk itu kita tidak boleh terbelenggu dalam text book yang ada (memakai pola lama, seperti yang terjadi saat ini) kita perlu berpikir mencari alternatif pembangunan ekonomi yang berbasis masyarakat (komunal) namun diterapkan dengan bisnis model yang state-of-the-art dengan paradigma ekonomi jaringan.
Dari dinamika yang telah dilewati kini tiba saatnya untuk meyadari dan menata kembali prioritas nasional desentralisasi melalui otonomi daerah, juga perlu dijalankan skenario nasional (star awal dengan melaksanakan skenario regional management atau kerjasama antardaerah) yang cerdas, modern, yang memahami dan memanfaatkan jaringan finansial g;obal demi kepentingan rakyat secara nasional adalah jawaban yang tepat.
Bagaimanapun ke depan bangsa kita harus segera membangun sinergi antara kekuatan finansial global dalam prioritas kepentingan rakyat secara nasional dengan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda bila tidak maka sampai kapanpun kita akan terus terpuruk, tanpa mampu untuk bangkit.
Sebagaimana Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa tiga faktor utama yang menghambat pertumbuhan sektor riil adalah tingginya tingkat suku bunga, mahalnya energi (kelangkaan), lemahnya distribusi karena hancurnya infrastruktur jalan dan belum tercukupinya transfortasi yang memadai.
Itulah sebabnya diperlukan perubahan sistem atau Indonesia Corporate Restructuring tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong karena semua komponen itu ada dalam suatu siklus ekonomi. Dengan demikian jaringan usaha kerakyatan (ekonomi kerakyatan) akan memperoleh bentuk terbaiknya, tinggal kesungguhan penguasa untuk menerapkannya.
Menata Ulang BUMN/BUMD
Sesungguhnya BUMN/D dan juga bisnis-bisnis lembaga Negara yang manapun adalah sapi perahan bagi elit tertentu saja. Disanalah maka hamper semua BUMN ( kurang lebih 150 BUMN di Indonesia) pada merugi “katanya”. Oleh karena itu hanya bisnis yang belum profitable sajalah yang di urus negara (misalnya produksi sarana dan prasarana militer tetap BUMN) selebihnya BUMN/D ditata ulang agar kepentingan rakyat benar-benar bisa dikedepankan. Untuk itu BUMN/D yang memang profitable ke depan di ubah menjadi BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat) sesuai dengan skema baru dalam pengaturan perekonomian rakyat yang diintegrasikan financial global. BUMN/D sudah menyimpang dari fungsi mensejahterahkan rakyat lalu perlu pula dilakukan “corporate restructuring” menuju BUMR. Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) sebagai Gerakan Ekonomi Rakyat berskala Nasional dan International. Berjuang untuk melawan ketidak adilan pasar, demi terwujudnya sistem perekonomian yang kokoh, tangguh, mandiri dan dinamis, sesuai dengan amanah UUD1945, Pancasila dan UU No.25 tahun 1992.
Dasar pendirian BUMN oleh para para founding fathers ditujukan sebagai alat Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat, kenyataannya kini menjadi ajang rebutan (penggerogotan) para elit politik/birokrasi, BUMN adalah sarang korupsi. Ini akan berakibat fatal kepada nasib BUMN/D itu sendiri sebagai corporasi BUMN/D yang seharusnya mampu bersaing secara global, ini malah menjadi pada terpuruk, akibatnya rakyat tidak mendapat manfaat, malah rakyat menjadi konsumen menopang system corpoasi BUMN/D yang membebani rakyat baik berupa menyedot dana masyarakat maupun dalam bentuk layanan yang mahal dan tidak konpetitif tanpa ada pilihan lain. Dalam buku “Mengutamakan Rakyat” di contoh kan adalah jumlah SIMPEDES (Simpanan Pedesaan) jauh lebih besar ketimbang KUPEDES (Kredit Usaha Pedesaan). Ini berarti penyedotan dana masyarakat namun alokasi untuk kredit rakyat kecil dan suashnya bukan main, sehingga tidak seimbang antara dana terkumpul dengan dana tersalur untuk mendukung usaha rakyat. Contoh lain adalah telekomunikasi dimana harga layanan telekomunikasi di Indonesia termahal di dunia.
Mahalnya tarif komunikasi, juga barang dan jasa yang lain seperti listrik dan air, pada hakekatnya adalah pemerasan oleh Negara atau minimal di legal kan oleh Negara. Apalagi rakyat untuk menggunakan barang dan jasa yang dibutuhkan tanpa alterbatif pilihan karena monopoli antara lain juga sulitnya mendapatkan pupuk, belum lagi contoh-contoh yang lain misalnya di bidang perkebunan, begitu pula BUMN/D yang bergerak di bidang layanan public seperti transportasi baik udara, laut dan darat, ini malah kalah bersaing dan cenderung mau bangkrut juga.
Solusinya lagi-lagi subsidi dari APBN yang pada hakekatnya juga membebani rakyat. Sementara pesaing dari swasta nasional dan asing terus masuk dan menggeser peran mereka (khususnya UKMK), menjadi pertanyaan bahwa kenapa hal ini dipertahankan ?. Diharapkan kepada pemimpin baru ke depan “Presiden RI 2009-2014” yang terpilih nantinya untuk melakukan pembaharuan “corporate restructuring” terhadap BUMN/D menjadi BUMR. Karena kalau tidak, se kaya bagaimanapun Negara ini, kalau diabaikan …. Kan lama-lama habis juga potensinya karena itu semua milik rakyat bahkan cenderung dilupakan bahwa dasar pendirian BUMN oleh founding fathers adalah untuk mensejahterahkan rakyat, karena semua itu bukan milik pemerintah dan apalagi bukan milik elite politik atau partai-partai. Kita harus jujur kini yang terjadi mereka-mereka malah memeras dan merugikan rakyat dengan berbagai bentuk seperti yang telah dicontohkan tersebut diatas.
Dari BUMN Menjadi BUMR
Ke depan tentu dengan konsep BUMR, siapapun ia yang menjadi konsumen atau klien dari BUMR adalah juga pemili saham. Dengan demikian rakyat secara langsung mendapat keuntungan dari BUMR-BUMR yang ada. Begitu pula dalam pengelolaan kekayaan alam tidak lagi menempatkan rakyat sebagai penonton di wilayahnya.
Tapi melalui konsep yang disusun secara integral dari Master Plan, Corporate Plan sampai keperencanaan yang bersifat detail (Business Plan) sudah disusun dalam satu kerangka yang utuh dengan menempatkan rakyat sebagai pihak yang diuntungkan.
Bagaimana mungkin tambang dan hutan dibagi-bagi kepada pihak-pihak tertentu, seperti banyak terjadi korupsi pada pengalihan lahan/hutan yang dilakukan oleh oknum anggota DPR/DPRD serta oknum dari pihak pemerintah – kasusnya sementara ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karena melalui pasar modal/saham (tidak mendahulukan pasar rakyat seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Turi dll – bahasa versi Wapres Jusuf Kalla) mereka menggerakkan ratusan juta US Dollar dengan mudahnya. Mereka sudah mengeruk keuntungan di luar keuntungan bisnisnya itu sendiri. Namun ketika pemerintah (pusat/daerah) akan membangun, sebut misalnya membangun rumah sakit, pengembangan kota baru atau yang lainnya sekitar lokasi yang dibebaskan tersebut dengan susah payah mencari investor. Ini kan enak di pihak yang mendapat konsesi tambang/hutan, tapi nggak enak bagi investor lainnya (ini salah satu indicator kurangnya investor masuk ke Indonesia). Disinilah pentingnya pengintegrasian perencanaan dalam bentuk master plan, corporate plan dan bahkan business plan agar kepentingan rakyat tercermin di dalamnya secara terukur dan tentu pula terjadi tranfaransi atau bisa disebut pula fair trade bukan free trade. Yang jelas dalam model BUMN/D sangat subur korupsi dan rakyat tetap saja hanya sebagai penonton, sedangkan dalam model BUMR rakyat dilibatkan dalam pengelolaan infrastruktur public dalam artian rakyat disamping sebagai pengguna sekaligus sebagai pemilik. Berbeda dalam system ekonomi liberal keuntungan yang di dapat oleh corporate/perusahaan hanya akan dinikmati oleh pemegang saham dan kepentingan public/rakyat diatur secara tidak langsung melalui pajak atau pungutan lainnya. Sedangkan dalam BUMR rakyat secara langsung dapat ikut menikmati keuntungan yang didapat dari bisnis BUMR tersebut. Dengan cara ini akan membuat rakyat membeli pulsa telepon, listrik, air bersih, pupuk, jasa angkutan dan lain sebagainya dengan mudah dan murah serta cepat pula. Ini bukan omong kosong karena Negara tetangga sudah melaksanakannya bahkan dengan melibatkan global financial lahirlah model Air Asia (jasa penerbangan). Kita tidak usah repot-repot mikir tinggal adopsi saja. Tidak ada salahnya kita belajar apa yang dilakukan oleh Mahathir Muhammad mantan PM Malaysia atau yang dilakukan di Thailand oleh Thaksin Shinawatra, serta Vietnam juga sudah mengikutinya. Sekarang kini persoalannya tergantung kemauan sang peminpin saja dalam hal ini presiden serta dukungan dari parlemen, kini saatnya peran BUMR yang tepat untuk dilaksanakan sebagai wajah baru dari BUMN/D yang sudah parah kondisinya, mari kita pikirkan bersama demi kemaslahatan bangsa dan Negara yang kita cintai ini.
Penulis adalah Ketua Umum PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) Sulawesi Tenggara & Sekum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sulawesi Tenggara.

0 komentar:

Delete this element to display blogger navbar

 
 
 

Footer 1

Footer 3

Greenpeace Asia Tenggara The Earth Council Center for International Forestry Research World Agroforestry Pusat Informasi Lingkungan Indonesia World Wild Fund Indonesia Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam World Silent Day Institute for Global Justice Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan The Indonesian Tropical Institute LEI Lembaga Ekolabel Indonesia Third World Network